Tiga Golongan Manusia Pada Hari Kiamat 1.Golongan Orang yang Beriman Paling dahulu adalah orang-orang yang didekatkan dengan Allah 2.Golongan Kanan alangkah mulianya golongan ini 3.Golongan Kiri alangkah sengsaranya golongan ini! QS:Al-Waqi'ah

Jumat, 19 Juli 2013

Perbedaan Bukanlah Rahmat


Terkait perbedaan awal Ramadan yang kerap menimbulkan polemik, orang mudah bekata: Perbedaan adalah rahmat. Nikmat sekali mendengar pernyataan itu. Saking enaknya, tidakkah kalimat itu terasa meninabobokan?

Kalau sejarah umat manusia di muka bumi ini dipelajari, perbedaan awalnya adalah persoalan. Perbedaan baru menjadi rahmat ketika masyarakat bisa dan mampu membicarakan dan mendiskusikan perbedaan-perbedaan itu dengan rileks, santai dan jika perlu dengan penuh humor.

Pendeknya, perbedaan menjadi rahmat ketika diusahakan dan diupayakan. Perbedaan tak akan pernah jadi rahmat dengan sendirinya, secara tiba-tiba dan otomatis. Itu kenapa “perbedaan sebagai rahmat” adalah sebuah verba, kata kerja, bukan kata sifat apalagi kata benda.

Sayangnya, negara ini lebih sering berkampanye tentang “perbedaan sebagai rahmat” tanpa disertai upaya serius menyediakan situasi yang memungkinkan perbedaan-perbedaan itu bisa dibicarakan secara terbuka, rileks, dan hangat.

Ambil misal soal penentuan awal Ramadan yang relevan dengan situasi sekarang.

Sebenarnya, perbedaan awal dan akhir Ramadhan bukanlah barang baru di Indonesia. Bukan sekali dua kali terjadi perbedaan dalam persoalan ini. Tetapi baru belakangan saja perbedaan mengenai penentuan awal dan akhir Ramadan ini bisa “dirayakan” secara terbuka dan bahkan dengan santainya sidang isbat disiarkan secara langsung.

Beberapa orang dengan sinis menyindir perdebatan di sidang isbat sebagai debat yang tidak perlu. Bukan sekali saya mendengar satire “orang lain sudah ke Bulan kita masih sibuk berdebat mengintip Bulan”.

Tetapi kalau melihatnya dalam perkembangan sejarah Indonesia modern, perdebatan di sidang isbat itu justru sesuatu yang patut disyukuri. Di era Orde Baru, perbedaan macam ini tidak cukup mendapat tempat untuk dibicarakan secara terbuka.

Memang tidak ada represi yang serius tehadap yang ingin memulai atau mengakhiri Ramadan tanpa menyesuaikan dengan keputusan pemerintah. Tetapi obsesi negara Orde Baru terhadap “persatuan” dan “pembulatan suara” membuat perbedaan macam itu jarang menjadi polemik dan isu yang dibicarakan terus menerus. Jangan heran jika 1 Syawal jarang sekali meleset dari kalender yang sudah diterbitkan jauh sebelum itu.

Pada sidang isbat 1998, sempat terjadi perbedaan pendapat mengenai akhir Ramadan  1418 H. Muhammadiyah waktu itu memutuskan Ramadan berakhir pada 28 Januari sehingga salat ied dilakukan pada 29 Januari. Sementara pemerintah memutuskan sehari setelahnya — seperti yang diyakini oleh Nahdlatul Ulama.

Menurut catatan saya, sebagai akibat perbedaan itu, shalat ied di Masjid Istiqlal pun dipimpin langsung Menteri Agama Tarmidzi Taher yang berlatar belakang Muhammadiyah. Itu bukan peristiwa biasa, sebab lazimnya salat ied dipimpin oleh Imam Besar Istiqlal. Kalau tidak salah, RCTI pun tidak menayangkan secara langsung shalat ied di Mekkah yang berlangsung pada 29 Januari 1998.

Kalau mengikuti tulisan hasil riset Ahmad Izzudin dalam bukunya “Fiqh, Hisab, Rukyah: Menyatukan NU & Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha”, polemik mengenai awal dan akhir Ramadan pada 1998 atau 1418H tidak sekadar menjadi persoalan metode dalam ilmu falaq.

Menurutnya, kasus 1998/1418H merupakan proses penetapan yang sarat muatan politis (lihat buku di atas halaman 88). Melalui wawancara dengan beberapa narasumber, diketahui bahwa pemerintah waktu itu tidak ingin mengikuti versi Muhammadiyah karena faktor Amien Rais — ketua Muhammadiyah saat itu.

Kita tahu, awal 1998 tensi politik Indonesia sudah mulai memanas. Krisis moneter berimbas pada kemelut politik yang berujung pada lengsernya Soeharto beberapa bulan kemudian. Amien Rais waktu itu jadi salah satu tokoh penting menolak pencalonan Soeharto menjadi presiden dalam Sidang Istimewa MPR pada Maret 1998.

Maka jangan heran jika tidak pernah ada siaran langsung sidang isbat selama Orde Baru. Di masa itu, perdebatan bukan barang yang “halal” untuk ditayangkan apalagi dibesar-besarkan di depan umum. Tidak ada dialog, yang ada hanya monolog.

Dengan berpijak pada argumen pentingnya membiarkan perbedaan muncul untuk dibicarakan secara terbuka, saya tidak terlalu berminat untuk ikut-ikutan sinis terhadap sidang isbat yang kemarin ditayangkan secara langsung oleh televisi itu.

Setidaknya kita bisa menyaksikan ada dialog, ada perdebatan – dan itu sangat vital untuk membangun tradisi bernegara yang lebih sehat. Sehingga bukan dengan tiba-tiba Menteri Agama muncul di televisi untuk mengumumkan 1 Syawal.

Dan situasi terbuka akan perdebatan itu bukan lahir dengan tiba-tiba. Ada proses panjang yang memungkinkan sidang isbat bisa disiarkan secara terbuka. Perbedaan dalam soal penentuan awal dan akhir Ramadan tidak menjadi soal karena kini setiap orang bisa dengan merdeka memilih versi mana yang akan diikuti.

Sayang sekali kemajuan dalam isu penentuan awal dan akhir Ramadan ini belum sepenuhnya bisa diterapkan dalam isu-isu krusial lainnya. Masih banyak “sengketa” dalam wilayah keagamaan yang belum bisa dikelola dengan baik sehingga yang terjadi seringnya adalah konflik horizontal yang tidak mengenakkan didengar, apalagi untuk dialami.

Bayang-bayang SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) yang direproduksi oleh negara Orde Baru terbukti masih menjadi hambatan penting untuk merayakan perbedaan secara terbuka, rileks dan bila perlu riang serta penuh rasa humor.

Ya, SARA adalah konsep yang mengandaikan tatanan sosial berjalan dengan harmonis dan tanpa konflik.  Turunan dari cara berpikir itu adalah memandang perbedaan dan upaya merayakan perbedaan sebagai bahaya bagi keharmonisan.

Membicarakan soal SARA akhirnya menjadi hal yang tabu sehingga perbedaan tidak tampil sebagaimana apa adanya, tapi muncul dengan penuh tekanan dan tidak alami.

Itulah yang terjadi dengan Taman Mini Indonesia Indah. Di sana, perbedaan adat istiadat memang ditampilkan, tapi dalam versi yang rapi, tertata, terkendali dan akhirnya dalam versinya yang takluk serta tunduk.

Taman Mini memang benar-benar menjadi alegori dari ke-Indonesia-an yang dibayangkan dan didesain oleh negara Orde Baru. Semuanya terlihat indah, serba rapi, serba teratur, serba harmonis. Sayangnya itu kerapihan, keteraturan dan keharmonisan yang palsu, penuh paksaan dan sebagai akibatnya itu menjadi bara dalam sekam.

Dan semuanya hanya tinggal tunggu waktu untuk meledak begitu sumbu yang ditekan itu terbakar. Itulah yang terjadi pada kerusuhan Mei 1998, konflik Dayak-Madura di Sambas-Sampit, perang di Ambon, sampai penganiayaan terhadap mereka yang dianggap sesat dan berbeda.

Perbedaan, pada akhirnya, memang sebuah persoalan. Dan penting untuk memahami dan mengakui bahwa perbedaan memang persoalan yang mesti disikapi, dijawab dan direspons. Seberapa mampu kita menyikapinya, membicarakannya secara terbuka dan dalam suasana yang sehat tanpa intimidasi, itulah yang akan jadi pembuka jalan untuk sampai pada situasi di mana perbedaan akhirnya menjadi rahmat.

Saya percaya, masyarakat sipil sebenarnya cukup siap untuk memulai proses itu. Negara yang belum siap. Ya, karena memang negara pula yang selama ini gagal mengelola perbedaan. Dan negara pula yang mula-mula mesti dimintai tanggung jawab untuk semua konflik yang terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar