Oleh Herry Gunawan | Newsroom Blog – Jum, 21 Jun 2013
Akhir pekan lalu, saat merapikan buku-buku koleksi yang terserak, saya
menemukan sebuah sebuah buku berbahasa Arab dengan kertas isi berwarna
putih (alias bukan kitab kuning). Di sampul, tertulis judul “Tafsir Ayat
Al-Ahkaam” atau tafsir ayat-ayat tentang hukum.
Buku karya
Muhammad Ali Ash Shabuny ini saya buka-buka dengan hati-hati. Maklum
buku lawas, kira-kira saya peroleh hampir 20 tahun silam. Begitu lama
tak menyentuhnya. Dari daftar isi, perhatian saya langsung tersita ke
sebuah bab yang khusus membahas riba.
Saya langsung ke halaman awal bab riba. Riba, menurut buku itu, adalah “ziyadah mutlaqah”
alias tambahan yang pasti alias dimutlakkan. Sambil membaca cepat, saya
lantas teringat fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mengharamkan bunga
bank, yang mutlak sekian persen per tahun, karena tergolong riba.
Fatwa
MUI memang bukan hukum, melainkan kesepakatan ulama sehingga boleh
diikuti atau tidak. Setidaknya jadi penuntun. Tapi di luar itu, saya pun
merasakan, mengapa Islam (sebagaimana banyak tertera pada fiqh muamalah) memiliki sistem hubungan bisnis.
Islam tidak hanya melarang perolehan bunga atau riba, tapi juga menyediakan solusi mendapatkan yang baik, yang sesuai syariah.
Dalam hubungan bisnis, solusi yang dikenal adalah mudharabah dan musyarakah. Keduanya sama-sama berpijak pada bagi hasil (berbagi keuntungan yang diperoleh), namun berbeda dalam hal memandang kerugian.
Pada sistem mudharabah, pihak pemberi modal disebut dengan shahib al-maal, sedangkan pihak penerima modal disebut mudharib.
Sejumlah literatur menyebutkan, model ini pernah dipraktikkan oleh Nabi
Muhammad saat berbisnis dengan Khadijah. Muhammad bertindak sebagai
mudharib, sementara Khadijah — yang menyerahkan domba-dombanya kepada
Muhammad untuk dijual — sebagai shahibah al-maal.
Dalam hubungan
bisnis ini, seandainya terjadi kerugian, maka yang menanggung adalah
shahib al-maal. Tapi dengan catatan, jika kerugian akibat kelalaian atau
ulah penyimpangan yang dilakukan oleh mudharib, maka dia pun ikut
menanggung.
Sementara jika ada keuntungan, maka diterapkanlah
pola bagi hasil sesuai kesepakatan awal. Misalnya, 70:30 antara pemberi
modal dan penerima modal. Kata kuncinya adalah kesepakatan awal,
sehingga kedua belah pihak sama-sama rela menerima rasio bagi hasil
(yang tentu memperhitungkan risiko bisnis).
Pada sistem lainnya,
yaitu musyarakah (arti harfiah: perserikatan), para pemberi modal adalah
orang-orang yang terlibat dalam sebuah usaha (berserikat). Karena itu,
baik keuntungan maupun kerugian yang didapat, akan ditanggung dan
dinikmati bersama.
Khusus terkait keuntungan, tentu telah
memperhitungkan seluruh biaya. Baik biaya operasional, produksi, maupun
biaya lain yang lazim dalam bisnis. Tapi yang pasti, tidak boleh ada
keuntungan mutlak yang ditetapkan di muka.
Tak heran jika Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 08/DSN-MUI/IV/2000
Tentang Pembiayaan Musyarakah bagian C ayat 2 berbunyi: “Setiap
keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh
keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
Satu
pesan moral yang begitu terasa dari fatwa MUI dan kitab tafsir
ayat-ayat tentang hukum adalah, betapa bisnis dalam Islam berlandaskan
saling percaya dan saling berbagi — baik untung maupun rugi.
Bagaimana bila diniatkan saja untuk sedekah?
Tentu
saja sangat baik. Namun perlu diingat, sedekah bukanlah bisnis.
Perbedaannya jelas: kita bersedekah demi berharap kerelaan Allah SWT
terhadap hambanya. Tidak ada pengharapan nilai keuntungan dalam konteks
ini. Bahkan ada yang menafsirkan, justru pengharapan keuntungan dari
sedekah bisa menghilangkan pahala sedekah itu sendiri.
Betapa
indahnya keteraturan yang sudah diberikan jalannya dalam syariah.
Mudah-mudahan setelah merapikan buku-buku lawas yang terserak, ketika
itu saya berharap, pemahaman serta niat selalu dijaga.
Suber: Yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar