Oleh Zen RS | Newsroom Blog – Selasa, 9 Juli 2013
Terkait perbedaan awal Ramadan yang kerap menimbulkan polemik, orang
mudah bekata: Perbedaan adalah rahmat. Nikmat sekali mendengar
pernyataan itu. Saking enaknya, tidakkah kalimat itu terasa
meninabobokan?
Kalau sejarah umat manusia di muka bumi ini
dipelajari, perbedaan awalnya adalah persoalan. Perbedaan baru menjadi
rahmat ketika masyarakat bisa dan mampu membicarakan dan mendiskusikan
perbedaan-perbedaan itu dengan rileks, santai dan jika perlu dengan
penuh humor.
Pendeknya, perbedaan menjadi rahmat ketika
diusahakan dan diupayakan. Perbedaan tak akan pernah jadi rahmat dengan
sendirinya, secara tiba-tiba dan otomatis. Itu kenapa “perbedaan sebagai
rahmat” adalah sebuah verba, kata kerja, bukan kata sifat apalagi kata
benda.
Sayangnya, negara ini lebih sering berkampanye tentang
“perbedaan sebagai rahmat” tanpa disertai upaya serius menyediakan
situasi yang memungkinkan perbedaan-perbedaan itu bisa dibicarakan
secara terbuka, rileks, dan hangat.
Ambil misal soal penentuan awal Ramadan yang relevan dengan situasi sekarang.
Sebenarnya,
perbedaan awal dan akhir Ramadhan bukanlah barang baru di Indonesia.
Bukan sekali dua kali terjadi perbedaan dalam persoalan ini. Tetapi baru
belakangan saja perbedaan mengenai penentuan awal dan akhir Ramadan ini
bisa “dirayakan” secara terbuka dan bahkan dengan santainya sidang
isbat disiarkan secara langsung.
Beberapa orang dengan sinis
menyindir perdebatan di sidang isbat sebagai debat yang tidak perlu.
Bukan sekali saya mendengar satire “orang lain sudah ke Bulan kita masih
sibuk berdebat mengintip Bulan”.
Tetapi kalau melihatnya dalam
perkembangan sejarah Indonesia modern, perdebatan di sidang isbat itu
justru sesuatu yang patut disyukuri. Di era Orde Baru, perbedaan macam
ini tidak cukup mendapat tempat untuk dibicarakan secara terbuka.
Memang
tidak ada represi yang serius tehadap yang ingin memulai atau
mengakhiri Ramadan tanpa menyesuaikan dengan keputusan pemerintah.
Tetapi obsesi negara Orde Baru terhadap “persatuan” dan “pembulatan
suara” membuat perbedaan macam itu jarang menjadi polemik dan isu yang
dibicarakan terus menerus. Jangan heran jika 1 Syawal jarang sekali
meleset dari kalender yang sudah diterbitkan jauh sebelum itu.
Pada
sidang isbat 1998, sempat terjadi perbedaan pendapat mengenai akhir
Ramadan 1418 H. Muhammadiyah waktu itu memutuskan Ramadan berakhir pada
28 Januari sehingga salat ied dilakukan pada 29 Januari. Sementara
pemerintah memutuskan sehari setelahnya — seperti yang diyakini oleh
Nahdlatul Ulama.
Menurut catatan saya, sebagai akibat perbedaan
itu, shalat ied di Masjid Istiqlal pun dipimpin langsung Menteri Agama
Tarmidzi Taher yang berlatar belakang Muhammadiyah. Itu bukan peristiwa
biasa, sebab lazimnya salat ied dipimpin oleh Imam Besar Istiqlal. Kalau
tidak salah, RCTI pun tidak menayangkan secara langsung shalat ied di
Mekkah yang berlangsung pada 29 Januari 1998.
Kalau mengikuti
tulisan hasil riset Ahmad Izzudin dalam bukunya “Fiqh, Hisab, Rukyah:
Menyatukan NU & Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul
Fitri dan Idul Adha”, polemik mengenai awal dan akhir Ramadan pada 1998
atau 1418H tidak sekadar menjadi persoalan metode dalam ilmu falaq.
Menurutnya,
kasus 1998/1418H merupakan proses penetapan yang sarat muatan politis
(lihat buku di atas halaman 88). Melalui wawancara dengan beberapa
narasumber, diketahui bahwa pemerintah waktu itu tidak ingin mengikuti
versi Muhammadiyah karena faktor Amien Rais — ketua Muhammadiyah saat
itu.
Kita tahu, awal 1998 tensi politik Indonesia sudah mulai
memanas. Krisis moneter berimbas pada kemelut politik yang berujung pada
lengsernya Soeharto beberapa bulan kemudian. Amien Rais waktu itu jadi
salah satu tokoh penting menolak pencalonan Soeharto menjadi presiden
dalam Sidang Istimewa MPR pada Maret 1998.
Maka jangan heran
jika tidak pernah ada siaran langsung sidang isbat selama Orde Baru. Di
masa itu, perdebatan bukan barang yang “halal” untuk ditayangkan apalagi
dibesar-besarkan di depan umum. Tidak ada dialog, yang ada hanya
monolog.
Dengan berpijak pada argumen pentingnya membiarkan
perbedaan muncul untuk dibicarakan secara terbuka, saya tidak terlalu
berminat untuk ikut-ikutan sinis terhadap sidang isbat yang kemarin
ditayangkan secara langsung oleh televisi itu.
Setidaknya kita
bisa menyaksikan ada dialog, ada perdebatan – dan itu sangat vital untuk
membangun tradisi bernegara yang lebih sehat. Sehingga bukan dengan
tiba-tiba Menteri Agama muncul di televisi untuk mengumumkan 1 Syawal.
Dan
situasi terbuka akan perdebatan itu bukan lahir dengan tiba-tiba. Ada
proses panjang yang memungkinkan sidang isbat bisa disiarkan secara
terbuka. Perbedaan dalam soal penentuan awal dan akhir Ramadan tidak
menjadi soal karena kini setiap orang bisa dengan merdeka memilih versi
mana yang akan diikuti.
Sayang sekali kemajuan dalam isu
penentuan awal dan akhir Ramadan ini belum sepenuhnya bisa diterapkan
dalam isu-isu krusial lainnya. Masih banyak “sengketa” dalam wilayah
keagamaan yang belum bisa dikelola dengan baik sehingga yang terjadi
seringnya adalah konflik horizontal yang tidak mengenakkan didengar,
apalagi untuk dialami.
Bayang-bayang SARA (Suku, Agama, Ras dan
Antargolongan) yang direproduksi oleh negara Orde Baru terbukti masih
menjadi hambatan penting untuk merayakan perbedaan secara terbuka,
rileks dan bila perlu riang serta penuh rasa humor.
Ya, SARA
adalah konsep yang mengandaikan tatanan sosial berjalan dengan harmonis
dan tanpa konflik. Turunan dari cara berpikir itu adalah memandang
perbedaan dan upaya merayakan perbedaan sebagai bahaya bagi
keharmonisan.
Membicarakan soal SARA akhirnya menjadi hal yang
tabu sehingga perbedaan tidak tampil sebagaimana apa adanya, tapi muncul
dengan penuh tekanan dan tidak alami.
Itulah yang terjadi
dengan Taman Mini Indonesia Indah. Di sana, perbedaan adat istiadat
memang ditampilkan, tapi dalam versi yang rapi, tertata, terkendali dan
akhirnya dalam versinya yang takluk serta tunduk.
Taman Mini
memang benar-benar menjadi alegori dari ke-Indonesia-an yang dibayangkan
dan didesain oleh negara Orde Baru. Semuanya terlihat indah, serba
rapi, serba teratur, serba harmonis. Sayangnya itu kerapihan,
keteraturan dan keharmonisan yang palsu, penuh paksaan dan sebagai
akibatnya itu menjadi bara dalam sekam.
Dan semuanya hanya
tinggal tunggu waktu untuk meledak begitu sumbu yang ditekan itu
terbakar. Itulah yang terjadi pada kerusuhan Mei 1998, konflik
Dayak-Madura di Sambas-Sampit, perang di Ambon, sampai penganiayaan
terhadap mereka yang dianggap sesat dan berbeda.
Perbedaan, pada
akhirnya, memang sebuah persoalan. Dan penting untuk memahami dan
mengakui bahwa perbedaan memang persoalan yang mesti disikapi, dijawab
dan direspons. Seberapa mampu kita menyikapinya, membicarakannya secara
terbuka dan dalam suasana yang sehat tanpa intimidasi, itulah yang akan
jadi pembuka jalan untuk sampai pada situasi di mana perbedaan akhirnya
menjadi rahmat.
Saya percaya, masyarakat sipil sebenarnya cukup
siap untuk memulai proses itu. Negara yang belum siap. Ya, karena memang
negara pula yang selama ini gagal mengelola perbedaan. Dan negara pula
yang mula-mula mesti dimintai tanggung jawab untuk semua konflik yang
terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar