TEMPO.CO, Jakarta
- Dosen Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung Hakim L.
Malasan mengatakan perbedaan penetapan tanggal satu Ramadan oleh
beberapa kelompok muslim disebabkan perbedaan penetapan kriteria.
Mereka, kata dia, masing-masing menggunakan metode yang telah digunakan
sejak lama. "Tiap kelompok memiliki perbedaan metode," kata Hakim saat
dihubungi, Ahad, 7 Juli 2013.
Pergantian bulan baru, kata Hakim, memang ditandai oleh pasang surut air laut namun tanda-tanda itu tidak selalu dapat dilihat oleh mata telanjang karena adanya beberapa faktor. Faktor itu, kata dia, di antaranya bentuk geologis laut dan arus bawah laut.
Sekretaris Naqsabandiyah Sumatera Barat, Edison, mengatakan penetapan ini menggunakan perhitungan metode hisab munjid atau melalui penanggalan yang sudah dilakukan turun-temurun. Metode ini dilakukan dengan cara menghitung 360 hari dari puasa tahun lalu. Tahun lalu, mereka puasa pada hari Rabu. Untuk penghitungannya, puasa tahun ini dimulai 5 hari setelah Rabu dan jatuhnya hari ini.
Sedangkan Majelis Ulama Indonesia yang menggunakan metode imkanur rukyat, kata Hakim, melihat ketinggian bulan di atas cakrawala harus berada minimum dua derajat pada saat matahari terbenam. Sehingga, kata dia, jika puasa dimulai pada Rabu, wujudul hilal akan terlihat pada hari Selasa,” kata Hakim.
Lain halnya dengan metode yang dilakukan oleh warga Muhammadiyah yang menggunakan metode wujudul hilal. Hakim mengatakan penetapan Ramadan bagi warga Muhammadiyah dilakukan walaupun ketinggian bulan di atas cakrawala belum mencapai dua derajat.
Hari ini, ribuan pengikut Tarekat Naqsabandiyah di Sumatera Barat sudah mulai berpuasa Ramadan 1434 Hijriah.
LINDA HAIRANI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar