Tiga Golongan Manusia Pada Hari Kiamat 1.Golongan Orang yang Beriman Paling dahulu adalah orang-orang yang didekatkan dengan Allah 2.Golongan Kanan alangkah mulianya golongan ini 3.Golongan Kiri alangkah sengsaranya golongan ini! QS:Al-Waqi'ah

Senin, 30 Juni 2014

Nurcholis Majid Sosok Pembaharu Islam

Nurcholish Madjid: Pembaharu Islam yang Selalu Gelisah
Dalam lintasan sejarah pemikiran di Indonesia, Nurcholish Madjid merupakan ikon pembaharuan Islam. Gagasannya tentang pluralisme atau kebinekaan menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Terlebih ketika Indonesia sedang dirongrong fundamentalisme agama dan ancaman disintegrasi bangsa.
Nurcholish Madjid
Cendekiawan Muslim, Nurcholish Madjid, saat kampanye untuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 30 Maret 2004. [TEMPO/ Arie Basuki; Digital Image; 20040330]
Seperti kebanyakan para pembaharu lain, Cak Nur – begitu ia biasa disapa – adalah pemikir yang selalu gelisah dengan kondisi umatnya. Ia kerap mendapat kritik lantaran dianggap berlawanan dengan arus utama pemikiran ketika itu.
Tokoh ini besar di lingkungan keluarga tradisionalis Nahdlatul Ulama, tetapi berafiliasi pada politik modernis Masyumi. Ayahnya, Kiai Abdul Madjid, merupakan ulama terpandang di Mojoanyar yang dikenal sebagai pendukung setia partai yang dirikan Mohammad Natsir itu. Sementara ibunya, Fatonah, adalah putri Kiai Abdullah Sadjad dari Kediri, seorang ulama NU berpengaruh. Latar belakang inilah, termasuk yang membentuk pandangan Cak Nur kemudian.
Saat masih belia, Cak Nur mendapat pendidikan dasar Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng, juga dari Madrasah Ibtidaiyah. Lalu berlanjut ke Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang. Tak sampai tamat, Cak Nur pindah ke Pesantren Modern Darus Salam di Gontor, Ponorogo. Di sana, ia ditempa berbagai keahlian dasar-dasar agama Islam, termasuk bahasa Arab dan Inggris.
Setamat dari Gontor, Cak Nur berkuliah studi di jurusan Sastra Arab, IAIN Jakarta. Di kampus ini, suami Omi Komaria itu membangun citra dirinya sebagai pemikir muda Islam. Ia juga aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam dan sempat dua periode memimpin organisasi itu antara 1966-1968 dan 1969-1971.
Pada 1968, Cak Nur menulis artikel berjudul "Modernisasi ialah Rasionalisasi, bukan Westernisasi," sebuah karya yang menjadi perbincangan utama di kalangan HMI. Melalui tulisan itu, ia mendorong umat Islam untuk menggeluti modernisasi sebagai apresiasi kepada ilmu pengetahuan. Setahun kemudian, ia menulis "Nilai Dasar Perjuangan", buku pedoman anggota HMI yang masih digunakan hingga kini.
Tahun 1970 bisa dibilang menjadi tonggak penting pemikiran Cak Nur. Tepatnya pada 3 Januari, Ketua Umum PB HMI itu menyampaikan pidato bertajuk "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat." Ceramah itu dianggap sebagai penanda proyek pembaharuan yang diprakarsainya dalam membentuk kelas menengah kota yang lebih religius.
Dalam pidato yang ia sampaikan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta itu, Cak Nur menguraikan persoalan-persoalan mendesak yang perlu dipecahkan umat Islam, khususnya menyangkut politik. Lewat jargon 'sekularisasi' dan "Islam, Yes, Partai Islam, No!" ia mengajak umat untuk meninjau kembali berbagai bentuk kejumudan yang memasung kreativitas.
Lelaki kelahiran Jombang, 17 Maret 1939 itu mengajak umat untuk berpikir bebas dan terbuka demi menyongsong kemajuan di masa depan. Dengan jargon di atas, Peneliti LIPI pada 1984-2005 itu mengatakan, partai Islam bukan hal esensial, dan sama sekali tidak berhubungan dengan esensi keislaman.
Pendukung Masyumi yang sebelumnya menyebut Cak Nur sebagai "Natsir Muda" – karena dianggap mewarisi pemikiran Natsir yang religius-sosialis – kecewa. Kemudian menganggap sang pembaharu telah mempromosikan paham Barat.
Meski dikritik, Cak Nur tak berhenti berkarya. Dari 20-an karya yang ia tulis, "Khazanah Intelektual Islam" (Bulan Bintang, 1982), merupakan salah satu karya kanoniknya yang merangkum gagasan awal mengenai pemikiran keislaman. Buku itu berkisah tentang keagungan pemikiran Islam sejak masa klasik hingga modern, dari abad ke-7-19.
Sepanjang karier pembaharuannya, Rektor Universitas Paramadina 1996-2005 itu membicarakan ide-ide modern seperti demokrasi, hak asasi manusia, sosialisme, kapitalisme, humanisme, sekularisme, sains modern, isu gender, dan pluralisme. Jejak pemikiran itu bisa dilihat dalam "Ensiklopedi Nurcholish Madjid (2007)", yang ditulis oleh muridnya, Budhy Munawar-Rachman.
Dua warisan penting pemikiran Cak Nur adalah berdirinya Yayasan Wakaf Paramadina pada 1986 dan Universitas Paramadina Mulya (sekarang Universitas Paramadina) pada 1996. Dua lembaga ini secara konsisten mengembangkan ajaran Islam moderat yang digagas Cak Nur.
Di luar kontroversi pemikirannya, Cak Nur adalah sosok yang memiliki peran signifikan saat era reformasi bergulir pada 1998. Doktor Filsafat Islam dari Universitas Chicago itu termasuk salah seorang yang dimintai nasihat oleh Presiden Soeharto ketika diminta lengser dari jabatannya. Atas saran Cak Nur, akhirnya sang presiden mundur dari jabatannya untuk menghindari krisis menjadi lebih parah.
Demikian pemikiran Nurcholish Madjid yang terlukis di atas kanvas peradaban Indonesia. Setelah menderita sirosis hati selama dua tahun, akhirnya sang pembaru meninggal dunia pada 29 Agustus 2005. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata karena dianggap telah banyak berjasa kepada negara.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar