Tanya:
Assalamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,
Bagaimana sebenarnya kedudukan musik di dalam Islam? Saya
pernah mendengar bahwa soal hukum mendengar musik ada yang berpendapat
bahwa itu haram, ada yang bilang makruh, sampai yang ‘boleh-boleh saja’
(kalau tidak salah Imam Al-Ghazali yang berpendapat, mohon koreksi kalau
salah). Seandainya memang haram, bagaimana soal puji-pujian terhadap
nabi, serta bacaan azan/Alquran yang dilantunkan dengan nada-nada yang
indah?
Prameswari
Jawab:
Assalamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,
Para ulama sepanjang sejarah nyaris tak pernah mencapai kata sepakat
dalam memandang hukum musik dan lagu. Selalu ada ulama yang memandang
keduanya haram, namun juga ada yang memandangnya halal. Dan di
tengah-tengahnya ada yang mengharamkannya sebagian dan menghalalkannya
sebagian.
1. Sahabat
Perbedaan pendapat tentang haramnya
nyanyian dan musik bukan perbedaan yang baru terjadi hari ini. Perbedaan
itu sudah terjadi di masa lalu, bahkan sejak masa sahabat. Ada sebagian
sahabat yang menghalalkannya dan ada juga yang tegas mengharamkannya.
a. Yang menghalalkan
Di
kalangan sahabat Nabi Muhammad SAW ada beberapa di antara mereka yang
menghalalkan musik, di antaranya Abdullah ibn Az-Zubair. Abdullah bin
Zubair memiliki budak-budak wanita dan alat musik berupa gitar. Dan Ibnu
Umar pernah ke rumahnya ternyata di sampingnya ada gitar: Ibnu Umar
berkata, "Apa ini wahai sahabat Rasulullah SAW?" Kemudian Ibnu Zubair
mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata, "Ini mizan
Syami (alat musik) dari Syam?" Berkata Ibnu Zubair, "Dengan ini akal
seseorang bisa seimbang."
b. Yang mengharamkan
Sementara itu setidaknya ada dua orang
sahabat Rasul yang tercatat dengan tegas mengharamkan nyanyian dan
musik, yaitu Abdullah bin Mas'ud dan Abdullah bin Al-Abbas
radhiyallahuanhuma. Abdullah bin Ma'sud radhiyallahuanhu termasuk di antara sahabat yang mengharamkan nyanyian. Beliau berfatwa :
الغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفاَقَ فيِ الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الماَءُ الزَّرْعَ
Nyanyian itu menumbuhkan sifat munafik di dalam hati, sebagaimana air menyebabkan tumbuhnya tanaman. (HR.Abu Daud)
Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahuanhu mengharamkan nyanyian dan musik, dengan dasar penafsiran beliau atas istilah lahwa hadis (لهو الحديث) sebagaimana tercantum dalam ayat Al-Quran berikut:
وَمِنَ
النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ
بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ
مُّهِينٌ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan
Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.
Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)
2. Ulama
Di
kalangan ulama berikutnya, kita masih menyaksikan bagaimana mereka
berbeda pendapat tentang hukum halal dan haram dari nyanyian dan musik.
Berikut ini sebagian kecil dari apa yang mereka perselisihkan.
a. Yang menghalalkan
Adapun ulama yang menghalalkan musik
sebagaimana di antaranya diungkapkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam
kitabnya, "Nailul Authar", di antaranya para ulama Madinah dan lainnya,
seperti ulama Dzahiri dan jemaah ahlu Sufi memberikan kemudahan pada
nyanyian walaupun dengan gitar dan biola.
Termasuk juga di antara mereka yang menghalalkan adalah Abu Bakar Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali dan lainnya.
Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi’i dalam
kitabnya bahwa Abdullah bin Ja’far menganggap bahwa nyanyi tidak
apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau
sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa
khilafah Amirul Mukminin Ali radhiyallahuanhu.
Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh,
Said bin Al Musayyib, Atha bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya’bi. Dan
diriwayatkan dari Ar-Rawayani dari Al-Qafal bahwa mazhab Malik bin Anas
membolehkan nyanyian dengan alat musik.
Di antara ulama yang menghalalkan musik adalah Ibnu Hazm, mewakili
kalangan ahli Dzhahir. Di dalam kitabnya Al-Muhalla, Ibnu Hazm
memberikan banyak hujjah atas tidak haramnya musik selama tidak melanggar ketentuan.
b. Yang mengharamkan
Para ulama mazhab seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah,
Asy-Syafi’i dan Al-Hanabilah termasuk kalangan yang menolak kehalalan
musik secara umum, kecuali bila memenuhi ketentuan tertentu. Abu Hanifah
berkata bahwa bernyanyi dan main musik itu termasuk perbuatan dosa.
Al-Malikiyah berkata bahwa yang menyanyikan lagu dan memainkan musik di
antara kami adalah orang-orang fasik. As-Syafi'iyah menyebutkan bahwa
nyanyian itu perbuatan sia-sia yang dibenci dan menyerupai batil. Orang
yang kebanyakan bernyanyi dan bermusik adalah orang bodoh yang tertolak
kesaksiannya. Pendapat ini merupakan pendapat para ulama dari mazhab
ini, seperti At-Thabari, An-Nawawi, Abu Ishaq dan lainnya.
Menurut Maliki bahwa mendengar nyanyian merusak muru’ah. Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan karena mengandung lahwu. Dan Ahmad mengomentari dengan ungkapannya:, "Saya tidak menyukai nyanyian karena melahirkan kemunafikan dalam hati."
Fudhail bin Iyadh berfatwa :
الغِناَءُ هُوَ رُقِيَّةُ الزِّناَ
Nyanyian itu merupakan mantera-mantera zina.
Adh-Dhahhak berfatwa :
الغِنَاءُ مُفْسِدَةٌ لِلْقَلْبِ مُسْخِطَةٌ لِلرَّبِّ
Nyanyian itu merusak hati dan membuat Tuhan marah.
Diriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada guru dari anaknya berisi pesan yang melarang nyanyian dan musik.
لِيَكُنْ
أَوَّلُ مَا تَفْعَلُ مَعَ ابَنِي أَنْ تُبَغِّضَه المـَلاَهِي فَإِنَّ
صَوْتَ المـَعَازِفِ وَ اسْتِمَاعِ الأَغَانِي وَاللهِ بِمَا يُنْبِتُ
النِّفَاقَ فيِ القَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ العُشْبُ عَلىَ الماَءِ هُوَ
حَرَاٌم
Hendaklah yang pertama kali kamu kerjakan kepada anakku untuk
menjauhkannya dari hal yang sia-sia. Karena sesungguhnya suara musik
dan mendengarkan nyanyian, demi Allah, akan menumbuhkan sifat nifak di dalam hati, sebagaimana tumbuhnya rumput di air, dia haram hukumnya.
Demikianlah pendapat ulama tentang mendengarkan alat musik. Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta’akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap wara’ (hati-hati).
Mereka melihat kerusakan yang timbul di masanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in
menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil
baik dari Al-Quran maupun hadis yang jelas mengharamkannya. Sehingga
dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.
Dalil yang mengharamkan musik dan lagu
Di
dalam syariat Islam, kita menemukan cukup banyak dalil baik di dalam
Al-Quran maupun di dalam As-Sunnah, yang terkait dengan masalah musik
dan lagu. Baik dalil itu bersifat sharih (tegas) atau pun bersifat merupakan penafsiran para ulama.
1. Alquran
Tidak
ada satu pun ayat Al-Quran yang secara tegas menyebut kata musik, alat
musik atau lagu dan nyanyian. Sehingga dalil-dalil terkait dengan musik
dan lagu di dalam Al-Quran umumnya bersifat penafsiran atas
istilah-istilah yang punya makna banyak.
Di antara istilah-istilah yang sering ditafsirkan para ulama sebagai musik dan lagu adalah:
a. Surat Luqman: lahwal hadis
Di
antara dalil haramnya nyanyian dan musik di dalam Al-Quran adalah ayat
yang menyebutkan tentang menyesatkan manusia dengan cara membeli apa
yang disebut dengan lahwal-hadis (لهو الحديث). Ayat ini
terdapat di dalam surat Luqman, yang oleh beberapa ulama disimpulkan
sebagai ayat yang mengharamkan nyanyian dan lagu.
وَمِنَ النَّاسِ
مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ
عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Dan
di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan
dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh
azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)
Para ulama yang
menyebutkan bahwa makna nya lahwal-hadis (لهو الحديث) di antaranya
adalah Abudullah bin Mas’ud, Abdullah bin Al-Abbas, Jabir bin Abdillah, ridwanullahi ‘alaihim ajma’in.
Demikian juga dengan pendapat Mujahid dan Ikrimah, mereka menafsirkan
lahwal-hadis sebagai lagu atau nyanyian. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan
bahwa ayat ini turun terkait dengan lagu dan nyanyian.
b. Surat Al-Anfal: siulan dan tepukan
وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ
Sembahyang
mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan
tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (QS. Al-Anfal :
35)
Menurut pendukung haramnya nyanyian dan musik, Allah SWT
telah mengharamkan nyanyian dan musik lewat ayat ini. Logika yang
digunakan adalah bahwa kalau sekadar bersiul dan bertepuk tangan saja
sudah haram, apalagi bernyanyi dan bermusik. Tentu hukumnya jauh lebih
haram lagi.
c. Surat Al-Isra’: suara
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ
Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu (QS. Al-Isra’ : 64)
Yang menjadi titik perhatian dalam ayat ini adalah kata bi shautika
(بصوتك). Dalam pendapat mereka, ayat ini termasuk ayat yang
mengharamkan nyanyian dan musik; lewat tafsir dan pendapat dari Mujahid.
Beliau memaknainya dengan bi-llahwi wal ghina (باللهو والغناء). Al-Lahwi sering diartikan dengan hal-hal yang sia-sia, sedangkan al-ghina’ adalah nyanyian dan lagu.
d. Surat Al-Furqan: Az-auur
وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً
Dan
orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka
bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang
tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.
(QS. Al-Furqan : 72)
Menurut mereka, kata yasyhaduna az-zuur
(يشهدون الزور), sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid, bahwa kata la
yasyhaduna az-zuur itu maknanya adalah 'tidak mendengarkan nyanyian atau
lagu'. Muhammad bin Al-Hanafiyah mengatakan hal yang sama. Maka
mendengarkan nyanyian dan lagu hukumnya haram menurut penafsiran ayat
ini.
e. Surat Al-Qashash: laghwi
Sebagian ulama mengharamkan musik karena dianggap sebagai bentuk laghwi atau kesia-siaan, dan menurut mereka hal itu dilarang di dalam Alquran Al-Kariem.
وَ
إِذَا سَمِعوُاُ اللَغُوَ أَعُرَضواُ عَنُه وَقَالواُ لَنا أَعُمَالنَا
وَلَكمُ أَعُمَالَكمُ سَلَم عَلَيُكمُ لَا نَبُتَغِي الُجَاهِلِيُنَ
Dan
apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka
berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan
bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul
dengan orang-orang jahil". (QS. Al-Qashash : 55)
f. Surat An-Najm: Samidun
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ وَأَنتُمْ سَامِدُونَ
Maka
apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu
menertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)? (QS.
An-Najm : 59-61)
Yang menjadi titik utama dari ayat ini adalah kata samidun (سامدون), yang di sana Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahu mengatakan bahwa yang dimaksud dengan samidun di ayat ini adalah al-mughannun (المغنون), yaitu orang-orang yang bernyanyi atau mendendangkan lagu. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah.
2. Hadis
Sedangkan
penyebutan alat-alat musik dan nyanyian akan lebih jelas ketika kita
membuka hadis-hadis nabawi. Ada begitu banyak hadits yang terkait dengan
musik dan nyanyian, di antaranya adalah:
a. Musik penyebab turunnya bencana
إِذَا
فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً حَلَّ بِهَا الْبَلاَءُ
وَعَدَّ r مِنْهَا : وَاتَّخَذَتِ الْقَيْنَاتِ وَالْمَعَازِفَ
Diriwayatkan
dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW
bersabda,”Apabila umatku telah mengerjakan lima belas perkara, maka
telah halal bagi mereka bala’. Dan beliau SAW menghitung salah satu di
antaranya adalah budak wanita penyanyi dan alat-alat musik”. (HR.
Tirmizy)
Hadis ini memasukkan musik sebagai salah satu dari lima belas
penyebab turunnya bencana dari Allah SWT. Maka menurut yang mengharamkan
musik, hukum bermusik itu haram karena akan menurunkan bencana dari
Allah SWT.
b. Tugas nabi menghancurkan alat musik
إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ الْمَزَامِيرَ وَالْكِنَّارَاتِ
Diriwayatkan
dari Abi Umamah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW
bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusku menjadi rahmat dan
petunjuk bagi alam semesta. Allah SWT telah memerintahkan aku untuk
menghancurkan seruling dan alat-alat musik”. (HR. Ahmad)
Menurut
pendapat yang mengharamkan musik, salah satu sebab kenapa musik itu
diharamkan adalah karena salah satu tugas Rasulullah SAW adalah untuk
menghancurkan alat-alat musik.
c. Akan ada yang menghalalkan musik
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ
Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar dan alat musik. (HR. Bukhari)
Hadits ini boleh jadi termasuk hadis yang paling selamat dari kelemahan isnad,
karena hadis ini terdapat di dalam kitab Sahih Bukhari. Sehingga kalau
ada yang masih meragukan kekuatan isnadnya, tentu yang meragukan itulah
yang bermasalah.
Mengingat Ibnu Shalah menyebutkan bahwa seluruh umat Islam telah mencapai ijma’ bahwa kitab tersahih kedua setelah Alquran Al-Karim adalah kitab Sahih Bukhari. Dan dari segi istidlal, hadis ini juga tegas menyebutkan bahwa ada orang yang akan menghalalkan alat benda-benda yang haram, dana salah satunya adalah al-ma’azif, yaitu alat musik.
d. Musik adalah suara yang dilaknat
Haramnya
suara musik juga didasarkan pada hadis berikut ini yang secara
jelas-jelas menyebutkan bahwa suara seruling itu merupakan hal yang
terlaknat di dunia dan akhirat.
صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ فيِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ : مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَ رَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ
Dua
jenis suara yang dilaknat di dunia dan di akhirat, yaitu suara seruling
ketika ada kenikmatan dan suara tangisan ketika musibah. (HR.
Al-Bazzar)
e. Allah mengharamkan musik
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ
وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu bahwa Nabi SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan khamar, judi, kubah dan ghubaira’ (HR. Ahmad dan Abu Daud)
إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى أُمَّتِي الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْمِزْرَ وَالْكُوبَةَ وَالْقِنِّينَ
Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan atas umatku dari khamar, judi, mizar, kubah dan qinnin. (HR. Ahmad)
f. Rasullullah menutup telinga
Mereka
yang mengharamkan alat musik berdalil bahwa ketika mendengar suara
seruling gembala, Rasulullah SAW menutup telinganya. Hal itu menandakan
bahwa musik itu hukumnya haram.
عَنْ نَافَعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ
سَمِعَ صَوْتَ زِمَارَةِ رَاٍع فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فيِ أُذُنَيْهِ
وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيْقِ وَهُوَ يَقُولُ : يَا نَافِع
أَتَسْمَعُ ؟ فَأَقُولُ : نَعَمْ فَيَمْضِي حَتىَّ قُلْتُ : لاَ فَرَفَعَ
يَدَهُ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ إِلىَ الطَّرِيْقِ وَقَالَ : رَأَيْتُ رَسُولَ
اللهِ r سَمِعَ زِمَارَةَ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا
‘Dari Nafi
bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi
telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan
tersebut. Ia berkata:’Wahai Nafi’ apakah engkau dengar?’. Saya
menjawab:’Ya’. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata
:’Tidak’. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan
kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah SAW
mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini’ (HR. Ahmad,
Abu Dawud dan Ibnu Majah).
g. Batilnya semua yang sia-sia
Selain itu mereka yang mengharamkan musik berdalil dengan hadis di bawah ini, yaitu hadis yang mengharamkan semua yang sia-sia.
كُلُّ
مَا يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ المُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلاَّ رَمْيُهُ
بِقَوْسِهِ وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسُهُ وَمُلاَعَبَتُهُ أَهْلُهُ فَإِنَّهُنَّ
مِنَ الحَقِّ
Semua perbuatan sia-sia yang dikerjakan seorang
laki-laki muslim adalah batil, kecuali: melempar panah, melatihkan kuda
dan mencumbui istrinya. Semua itu termasuk hak. (HR. At-Tirmizy)
h. Haramnya lonceng
Haramnya
musik juga dikaitkan dengan haramnya keberadaan lonceng di dalam rumah.
Dan memang ada beberapa hadis yang secara tegas mengharamkan lonceng,
di antaranya:
الجَرَسُ مَزَامِيْرِ الشَّيْطَانِ
Lonceng itu adalah serulingnya setan (HR. Muslim)
لاَ تَدْخُلُ المَلآئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ جُلْجُلْ وَلاَ جَرَسٌ لاَ تَصْحَبُ المَلآئِكَةُ رُفْقَةً فِيْهَا كَلْبٌ أَوْ جَرَسٌ
Malaikat
tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat jul-jul dan
lonceng. Dan malaikat tidak akan menemani orang-orang yang di rumah
mereka ada anjing dan lonceng. (HR. Muslim)
أَنَّ رَسُولَ اللهِ r أَمَرَ باِلأَجْرَاسِ أَنْ تُقْطَعَ مِنْ أَعْنَاقِ الإِبِلِ يَوْمَ بَدْرٍ
Bahwa Rasulullah SAW memerintahkan agar untuk memotong lonceng dari leher unta pada hari Badar. (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
Dalil yang menghalalkan musik dan lagu
Para
ulama yang tidak mengharamkan nyanyian dan musik juga punya hujjah yang
tidak bisa dianggap enteng. Hujjah mereka justru dengan cara
mengkritisi dalil-dalil yang digunakan oleh pihak yang mengharamkan.
Dimana pada intinya mereka menyatakan bahwa semua dalil yang dipakai,
meski jumlahnya banyak, tapi tak satu pun yang tepat sasaran.
1. Jawaban atas dalil Quran
Lima
ayat yang digunakan oleh mereka yang mengharamkan nyanyian dan musik
adalah ayat yang sama sekali tidak menyinggung sedikit pun tentang
nyanyian dan musik itu sendiri. Kalau pun dipaksakan untuk ditafsirkan
menjadi nyanyian dan lagu, sifatnya semata-mata hanya penafsiran yang
subjektif dan dilakukan oleh hanya beberapa gelintir ulama ahli tafsir
saja. Sama sekali tidak bisa dikatakan bahwa tafsiran itu mewakili
pendapat seluruh mufassirin. Jadi paling jauh, kita hanya bisa
mengatakan bahwa sebagian ulama memang mengharamkan nyanyian dan lagu
lewat ayat-ayat tersebut, namun sifatnya tidak mutlak, lebih merupakan
pendapat subjektif dari beberapa orang di antara ulama.
a. Surat Luqman : lahwal hadis
وَمِنَ
النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ
بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ
مُّهِينٌ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan
Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.
Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)
Istilah
lahwal-hadis (لهو الحديث) di dalam surat Luqman, memang cukup sering
ditafsirkan oleh beberapa ulama sebagai nyanyian dan lagu. Namun para
ulama yang tidak berpendapat seperti itu jumlahnya jauh lebih banyak
lagi. Misalnya Adh-Dhahhak, beliau menafsirkannya istilah ini
sebagai syirik, dan bukan nyanyian dan musik. Sedangkan Al-Hasan
mengatakan bahwa maknanya adalah syirik dan kufur.
Ibnu Hazm menolak pengharaman musik bila menggunakan ayat ini, dengan
beberapa alasan, antara lain; penafsiran versi Mujahid tak bisa
diterima, karena yang berhak menjelaskan Alquran hanyalah Rasulullah
SAW. Dan beliau SAW tidak menjelaskan seperti yang ditafsirkan oleh
Mujahid; kedua, penafsiran Mujahid ini sifatnya sepihak saja, tidak
mewakili penafsiran kebanyakan ulama. Sementara ada begitu banyak
sahabat dan tabi’in yang menghalalkan musik; ketiga, kalau
ditafsirkan bahwa yang dimaksud lahwa-hadis itu hanya terbatas alat
musik, maka penafsiran ini batil. Sebab bisa saja orang membeli benda
yang lain lalu digunakan untuk menyesatkan orang dijadikan permainan.
Katakanlah misalnya ada orang membeli mushaf Alquran, lalu dijadikan
alat untuk menyesatkan orang dan permainan. Lantas apakah haram hukumnya
membeli mushaf Alquran hanya karena ada orang tertentu yang
menjadikannya sebagai penyesat dan permainan? Jawabnya tentu tidak.
Kalau mau mengharamkan, seharusnya yang diharamkan adalah ketika
menjadikan suatu benda sebagai alat untuk menyesatkan manusia dan
permainan, bukan mengharamkan benda tersebut.
b. Surat Al-Anfal: siulan dan tepukan
Ketika berhujjah dengan ayat
tentang tentang orang-orang kafir di zaman jahiliyah beribadah dengan
cara bertepuk dan bersiul, sehingga hasil kesimpulannya bahwa nyanyian
dan musik itu menjadi haram, maka metode pengambilan kesimpulan hukumnya
terlihat lemah sekali.
وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ
Sembahyang
mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan
tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (QS. Al-Anfal :
35)
Ayat ini tidak secara langsung menyebutkan tentang musik dan
lagu. Ayat ini hanya bercerita tentang bagaimana orang-orang di masa
jahiliyah melakukan ibadah dengan cara bersiul-siul dan bertepuk-tepuk
tangan. Kemudian oleh kalangan yang ingin mengharamkan lagu dan musik,
perbuatan orang-orang jahiliyah di masa lalu yang diceritakan di ayat
ini kemudian dikaitkan dengan keharaman bernyanyi dan bermusik. Padahal
yang diharamkan adalah menyembah Allah dengan cara bersiul dan bertepuk
tangan, yang mana hal itu merupaan perbuatan orang-orang kafir di masa
jahiliyah.
Adapun bersiul dan bertepuk tangan di luar konteks
ibadah kepada Allah, sama sekali tidak terkait dengan hukum halal dan
haram. Artinya, tidak ada keharaman dari bertepuk dan bersiul, asalkan
tidak ada berkaitan dengan ibadah. Misalnya adat dan budaya serta gestur
yang ada di suatu masyarakat dalam berkomunikasi dengan sesama, tentu
tidak bisa diharamkan begitu saja.
Di suatu peradaban tertentu,
rasa kagum atas suatu hal biasa diungkapkan dengan cara bersiul. Atau
rasa hormat dan bahagia biasa diungkapkan dengan bahasa tubuh yaitu
bertepuk tangan spontan. Bahasa tubuh seperti itu tidak bisa begitu saja
dikaitkan dengan sebuah peribadatan di peradaban yang lain.
Kalau
bersiul dan bertepuk tidak selalu menjadi haram, apalagi bernyanyi dan
bermusik, yang sama sekali tidak ada hubungannya. Maka kita tidak tepat
rasanya mengharamkan nyanyian dan musik dengan menggunakan ayat ini.
c. Surat Al-Isra’: suara
Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik juga menggunakan ayat berikut sebagai dasar untuk mengharamkannya.
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ
Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu (QS. Al-Isra’ : 64)
Mereka mengatakan bahwa salah seorang ahli tafsir, yaitu Mujahid telah memaknainya kalimat bi shautika (بصوتك) sebagai al-ghina
(الغناء), yaitu nyanyian dan lagu. Sehingga ayat ini dianggap ayat yang
mengharamkannya. Padahal pendapat itu hanya pendapat satu orang saja,
yaitu Mujahid. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau, kita pun
tidak harus selalu terpaku kepada pendapatnya. Sebab masih banyak ulama
ahli tafsir yang tidak berpendapat demikian. Misalnya dengan penafsiran
Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa maknanya adalah segala ajakan yang
mengajak ke arah maksiat kepada Allah.
Nampaknya Departemen Agama RI lebih menggunakan Tafsir Ibnu Abbas
dari pada pendapat Mujahid. Sebab kalau kita baca terjemahan ayat ini
dalam versi Departemen Agama RI, kata itu diterjemahkan menjadi 'dengan
ajakanmu’, sama sekali tidak terkait dengan urusan nyanyian dan musik.
d. Surat Al-Furqan: Az-zuur
Mereka yang mengharamkan nyanyian dan musik juga seringkali menggunakan ayat berikut ini sebagai dasar pengharaman.
وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً
Dan
orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka
bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang
tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.
(QS. Al-Furqan : 72)
Mereka berlindung di balik pendapat Mujahid, bahwa kata la yasyhaduna az-zuur itu maknanya adalah 'tidak mendengarkan nyanyian atau lagu'. Muhammad bin Al-Hanafiyah mengatakan hal yang sama.
Padahal
nyaris kebanyakan pendapat para ulama ahli tafsir tidak sampai ke arah
haramnya nyanyian dan lagu, karena terlalu jauh penyimpangan maknanya.
Ayat ini menceritakan tentang ciri-ciri orang yang disebut sebagai ibadurrahman atau hamba-hamba Allah yang beriman, di mana salah satu cirinya adalah orang yang tidak memberikan kesaksian palsu.
Kalau
pun ada ulama yang menafsirkan maknanya, tidak selalu berupa haramnya
nyanyian dan musik. Misalnya penafsrian Ibnu Katsir yang mengatakan
bahwa la yasyhaduna az-zuur adalah tidak melakukan syirik atau menyembah
berhala.
Titik pangkalnya adalah pada kata yasyhaduna az-zuur (يشهدون
الزور), yang di dalam terjemahan versi Departemen Agama RI diartikan
dengan 'memberi kesaksian palsu', sebagaimana zhahirnya lafaz ayat ini.
e. Surat Al-Qashash: laghwi
Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik berdalih bahwa keduanya merupakan perbuatan sia-sia atau laghwi,
sehingga hukumnya haram. Namun kalangan yang menghalalkannya menjawab
bahwa tidak semua perbuatan laghwi dilarang di dalam syariat Islam.
Bahkan Alquran sendiri menyebutkan ada jenis laghwi yang tidak
mendatangkan dosa.
Salah satunya adalah orang yang berlaghwi ketika mengucapkan sumpah,
yang tidak dipermasalahkan-Nya, sebagaimana tersebut pada ayat berikut :
لاَ يُؤَخِذُكُمُ اللَهُ بِالَلغُو ِفِي أَيُمَانَكمُ
Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi
Allah menghukum kamu disebabkan yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah
maha pengampun lagi maha penyantun. (QS. Al-Baqarah : 225)
f. Surat An-Najm: samidun
Ayat lainnya yang juga sering ditafsirkan sebagai musik atau lagu adalah potongan ayat di dalam surat An-Najm.
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ وَأَنتُمْ سَامِدُونَ
Maka
apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu
mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)? (QS.
An-Najm : 59-61)
Yang menjadi titik perhatian adalah kata samidun
(سامدون). Dalam terjemahan yang kita baca dalam versi Departemen Agama,
kata itu berarti orang yang lengah. Namun beberapa ahli tafsir
mengaitkannya dengan lagu dan nyanyian. Misalnya Abdullah bin Al-Abbas
radhiyallahu mengatakan bahwa yang dimaksud dengan samidun di ayat ini
adalah al-mughannun (المغنون), yaitu orang-orang yang bernyanyi atau mendendangkan lagu. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah.
Sedangkan Adh-Dhahhak menafsirkan as-samud (السمود) sebagai al-lahwu wa al-la’bu
(اللهو و اللعب), yang artinya pekerjaan yang sia-sia dan permainan.
Maka ayat ini menurut mereka menyebutkan sifat-sifat buruk yang
dilakukan, yaitu ketika dibaca ayat-ayat Alquran, mereka malah
bernyanyi-nyanyi.
2. Jawaban atas dalil hadis
Kalau
dihitung-hitung, hadis-hadis yang sering dijadikan alasan untuk
mengharamkan nyanyian dan musik memang cukup banyak. Namun masalahnya
sebagian dari hadis itu bermasalah, baik dari segi isnad maupun dari
segi istidlal.
Abu Bakar Ibnul Arabi di dalam kitab Al-Ahkam menyebutkan dengan
tegas bahwa tidak ada satu pun hadis yang sahih di antara hadis-hadis
yang sering dijadikan dasar untuk mengharamkan musik. Senada dengan di
atas, Ibnu Thahir di dalam kitabnya As-Sima’, juga mengatakan tidak ada
satu huruf pun yang sahih dari hadis-hadis yang mengharamkan musik.
Ibnu Hazm di dalam kitab Al-Muhalla menyebutkan bahwa tidak ada satu
pun hadis sahih dalam bab tentang haramnya musik ini. Semuanya hadis maudhu’.
Mari kita bahas satu persatu hadis-hadis yang banyak digunakan oleh mereka yang mengharamkan nyanyian dan musik.
Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik menggunakan hadits berikut ini sebagai dalil.
إِذَا
فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً حَل بِهَا الْبَلاَءُ وَعَدَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا : وَاتَّخَذَتِ الْقَيْنَاتِ
وَالْمَعَازِفَ
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu
bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Apabila umatku telah mengerjakan lima
belas perkara, maka telah halal bagi mereka bala’. Dan beliau SAW
menghitung salah satu di antaranya adalah umatku memakai alat-alat
musik”. (HR. Tirmizy)
Namun yang jadi masalah adalah meski matan
hadis ini dari segi istidlal termasuk sangat jelas dan tegas menyebut
nama alat musik, sehingga tidak bisa ditafsirkan menjadi sesuatu yang
lain, bahkan acamannya juga jelas, yaitu bala’, tetapi sayangnya para
ulama umumnya memvonis hadis ini lemah.
Bahkan perawinya sendiri, yaitu Al-Imam At-Tirmizy, jelas-jelas menyebutkan dalam Sunan At-Tirmiziy, bahwa tersebut tidak sahih.
Maka bagi mereka yang menghalalkan nyanyian dan musik, hadis ini
tidak bisa dijadikan landasan untuk mengharamkannya. Karena hukum halal
haram tidak boleh dilandasi dengan hadis yang status hukumnya lemah.
Hadits kedua, sharih tapi tidak sahih.
إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ الْمَزَامِيرَ وَالْكِنَّارَاتِ
Diriwayatkan
dari Abi Umamah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,
”Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusku menjadi rahmat dan petunjuk
bagi alam semesta. Allah SWT telah memerintahkan aku untuk menghancurkan
seruling dan alat-alat musik”. (HR. Ahmad)
Hadis ini juga tegas
sekali menyebutkan tentang salah satu tugas Rasul, yaitu menghancurkan
seruling dan alat-alat musik. Kalau seandainya hadis ini sahih, pastilah
para ulama tidak pernah berbeda pendapat tentang kewajiban
menghancurkan alat-alat musik. Atau setidak-tidaknya, mengharamkan alat
musik secara aklamasi. Masalahnya justru karena hadis kedua ini juga
didhaifkan oleh banyak ulama, di antaranya Al-Haitsami menyebutkan bahwa
dalam rangkaian para perawinya ada seorang perawi yang dhaif bernama
Ali bin Yazid.
Maka wajar kalau sebagian ulama ada yang mengharamkan alat-alat
musik, namun sebagian lagi tidak memandang keharaman alat-alat musik,
lantaran dalil yang digunakan untuk mengharamkannya justru bermasalah,
karena merupakan hadis dhaif.
Hadis dhaif memang boleh digunakan untuk meningkatkan semangat dalam
mendapatkan keutamaan, tetapi seluruh ulama sepakat menolak hadits dhaif
untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Hadis ketiga, sahih tapi tidak sharih
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ
Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan kemaluan, sutera, khamar dan alat musik. (HR. Bukhari)
Para
ulama membicarakan dan memperselisihkan hadis-hadis tentang haramnya
nyanyian dan musik ini, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam
Shahihnya, dari Abi Malik Al-Asy’ari. Hadis ini walau terdapat dalam
hadis Sahih Bukhari, tetapi para ulama memperselisihkannya. Banyak di
antara mereka yang mengatakan bahwa hadis ini adalah hadis mu’alaq (sanad-nya terputus), di antaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm.
Mengapa demikian?
Ternyata hadis ini termasuk dalam kategori mu’allaqat
(معلقات), meski pun Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berijtihad bahwa
hadis ini tersambung lewat sembilan jalur periwayatan. Namun semua jalur
itu melewati satu orang perawi yang banyak diperdebatkan oleh para
ulama, yaitu perawi bernama Hisyam bin Ammar.
Di antara perdebatan mereka antara lain apa yang dikomentari Abu Daud
tentang Hisyam, yaitu sebagai orang yang meriwayatkan 400 hadis yang
tidak ada asalnya. Abu Hatim menyebutnya sebagai pernah berstatus shaduq tapi kemudian sudah berubah. An-Nasa’i menyebutnya sebagai la ba’sa bihi. Sebutan ini tidak menghasilkan mutlak kepercayaan.
Sedangkan mereka yang tidak mempermasalahkan Hisyam, bersikeras
menyebut bahwa Bukhari tidak mencacatnya. Selain itu Hisyam ini adalah
khatib di Damaskus, juga ahli Al-Quran serta juga ahli hadis negeri itu.
Disamping itu di antara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idhtirab).
Katakanlah, bahwa hadis ini sahih, karena terdapat dalam hadis Sahih
Bukhari, tetapi nash dalam hadis ini masih bersifat umum, tidak menunjuk
alat-alat tertentu dengan namanya. Batasan yang ada adalah bila ia
melalaikan.
Kalau pun periwayatan hadits ini diterima, apa-apa yang disebutkan
itu tidak semuanya haram secara mutlak. Misalnya sutera yang hanya
diharamkan buat laki-laki, sedangkan perempuan dibolehkan memakainya.
Hadis ini juga tidak menyebutkan zina dengan istilah zina, melainkan dengan istilah hira (الحِرَ). Makna aslinya adalah kemaluan atau farji.
Namun kemudian mengalami pergeseran makna menjadi zina. Maka kalau kita
gunakan makna aslinya, yaitu menghalalkan kemaluan, hukumnya tidak
mutlak salah. Sebab menghalalkan kemaluan bisa dengan cara yang benar,
seperti lewat pernikahan.
Maka ketika Nabi SAW menyebut alat
musik, sifatnya tidak mutlak haram, tetapi maksudnya bila alat-alat
musik itu membawa mudarat yang memang dilarang. Maka barulah hukumnya
haram.
Haramnya suara musik juga didasarkan pada hadis berikut
ini yang secara jelas-jelas menyebutkan bahwa suara seruling itu
merupakan hal yang terlaknat di dunia dan akhirat.
صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ فيِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ : مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ
Dua
jenis suara yang dilaknat di dunia dan di akhirat, yaitu suara seruling
ketika ada kenikmatan dan suara tangisan ketika musibah. (HR.
Al-Bazzar)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ r
قَالَ إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ
وَالْغُبَيْرَاءَ
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu bahwa Nabi SAW
bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan khamar, judi, kubah
dan ghubaira’ (HR. Ahmad dan Abu Daud)
إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى أُمَّتِي الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْمِزْرَ وَالْكُوبَةَ وَالْقِنِّينَ
Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan atas umatku dari khamar, judi, mizar, kubah dan qinnin. (HR. Ahmad)
Hadits keenam, menutup telinga bukan berarti haram.
عَنْ
نَافَعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ صَوْتَ زِمَارَةِ رَاٍع فَوَضَعَ
أُصْبُعَيْهِ فيِ أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيْقِ وَهُوَ
يَقُولُ : يَا نَافِع أَتَسْمَعُ ؟ فَأَقُولُ : نَعَمْ فَيَمْضِي حَتىَّ
قُلْتُ : لاَ فَرَفَعَ يَدَهُ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ إِلىَ الطَّرِيْقِ
وَقَالَ : رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ r سَمِعَ زِمَارَةَ رَاعٍ فَصَنَعَ
مِثْلَ هَذَا - رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه
‘Dari Nafi bahwa Ibnu
Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya
dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia
berkata:’Wahai Nafi’ apakah engkau dengar?’. Saya menjawab:’Ya’.
Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata :’Tidak’.
Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya dan mengalihkan kendaraannya ke
jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah SAW mendengar seruling
gembala kemudian melakukan seperti ini’ (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu
Majah).
Hadis ini punya dua kelemahan sekaligus, yaitu dari segi
isnad dan istidlal. Dari segi sanad, hadis ini divonis sebagai hadis
munkar oleh Abu Daud. Meski pun ada juga yang menentangnya. Namun kalau
pun hadis ini diterima dari segi isnad, masih juga bermasalah dari segi
istidlal. Mengapa? Karena hadis ini sama sekali tidak menyebutkan halal
atau haramnya mendengar suara musik secara eksplisit. Hadis ini memang
dari segi istidlah bisa ditafsirkan menjadi dasar keharaman mendengar
suara musik. Namun kesimpulan itu belum tentu tepat sasaran. Karena ada
beberapa kejanggalan dalam detailnya, seperti:
Pertama,
seandainya hukum mendengar suara musik itu memang benar-benar haram,
seharusnya Ibnu Umar tidak pergi dan berlalu dari penggembala.
Seharusnya beliau melarang si penggembala meniup seruling. Sebagai ahli
fikih di zamannya, tidak boleh hukumnya buat beliau mendiamkan
kemunkaran, dan hanya sekadar menghindar. Tapi yang beliau lakukan hanya
menghindar saja, tidak melarang. Berarti kalau peristiwa disimpulkan
sebagai haramnya musik adalah kesimpulan yang kurang tepat.
Kedua,
seandainya hukum mendengar musik itu memang benar-benar haram secara
mutlak, maka seharusnya Ibnu Umar tidak hanya menutup telinganya
sendirian. Seharusnya beliau juga memerintahkan pembantunya, Nafi’,
untuk ikut juga menutup telinga, seperti yang beliau lakukan dan
sebagaimana yang konon dilakukan oleh Rasulullah SAW. Tetapi
kenyataannya, Ibnu Umar sama sekali tidak memerintahkan Nafi’ untuk
menutup telinga. Malah beliau bertanya apakah Nafi’ masih mendengarnya.
Maka
karena tidak ada kejelasan pasti tentang mendengar musik haram apa
tidak di hadis ini, bisa saja kita berasumsi bahwa ketika Rasulullah SAW
menutup telinganya, bukan karena haramnya, melainkan karena sebab-sebab
yang lain, misalnya karena momentumnya tak tepat. Mengingat di
waktu-waktu tertentu, Rasulullah SAW justru membolehkan nyanyian dan
musik diperdengarkan dan dimainkan, misalnya ketika Hari Raya,
pernikahan atau ketika dalam peperangan.
Atau boleh jadi si
penggembala kurang pandai memainkan alat musiknya sehingga terkesan
memekakkan telinga, fals dan sumbang. Sehingga beliau SAW menutup
telinganya sambil meninggalkannya. Padahal kalau seandainya meniup
seruling itu haram, seharusnya Rasulullah SAW bukan menutup telinga,
tetapi beliau menegur penggembala itu secara langsung. Mustahil buat
seorang Nabi mendiamkan kemungkaran di depan mata. Karena hal itu
berarti tidak amanah dalam menjalankan tugas-tugas kenabian.
Hadits ketujuh, batilnya semua yang sia-sia.
Sebagian
kalangan yang ingin mengharamkan nyanyian dan musik menggunakan hadis
tentang semua perbuatan sia-sia hukumnya batil, kecuali memanah, melatih
kuda, dan bercumbu dengan istri.
كُلُّ مَا يَلْهُو بِهِ
الرَّجُلُ المُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلاَّ رَمْيُهُ بِقَوْسِهِ وَتَأْدِيْبُهُ
فَرَسُهُ وَمُلاَعَبَتُهُ أَهْلُهُ فَإِنَّهُنَّ مِنَ الحَقِّ
Semua
perbuatan sia-sia yang dikerjakan seorang laki-laki muslim adalah batil,
kecuali melempar panah, melatihkan kuda, dan mencumbui istrinya. Semua
itu termasuk hak. (HR. At-Tirmizy)
Kelemahan hadits ini ada dua, yaitu dari segi kesahihannya dan dari
istidlalnya. Dari segi sanad, Al-Hafidz Al-‘Iraqi menyebutkan bahwa ada
idhthirab di dalam hadits ini. Sedangakan kelemahan dari segi istidlal
bahwa hadits ini sama sekali tidak menyebut nyanyian dan musik sebagai
sesuatu yang batil. Sedangkan kalau dikatakan bahwa nyanyian dan musik
itu termasuk batil karena umumnya hadits ini, yang tidak batil hanya ada
tiga perbuatan saja, maka akan ada begitu banyak perbuatan yang batil
di sekeliling kita. Logika seperti ini ibarat ingin membunuh lalat
dengan menggunakan meriam. Lalatnya belum tentu mati, tetapi korban yang
lain sudah pasti.
Haramnya musik juga dikaitkan dengan haramnya
keberadaan lonceng di dalam rumah. Namun suara lonceng tak selalu mutlak
haram. Buktinya, kadang-kadang yang justru didengar oleh Rasulullah
ketika menerima wahyu adalah suara lonceng, sebagaimana hadis sahih
berikut :
أَحْيَانًا يَأْتِينِي فِي مِثْلِ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ
Terkadang wahyu datang kepadaku seperti bunyi lonceng. Itulah yang paling berat bagiku. (HR. Muslim)
Maka
apabila lonceng itu haram hukumnya dalam segala hal, seharusnya beliau
tidak perlu mendengar suara lonceng ketika menerima wahyu.
Sementara
itu kalangan yang menghalalkan nyanyian dan musik juga menampilkan
hadis-hadis yang justru menjadi dasar atas kehalalannya. Di antara
hadis-hadis itu adalah ketika Rasulullah SAW membiarkan para wanita
bernyanyi.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ
أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ
تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ
وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ
الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ r وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ r يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا
وَهَذَا عِيدُنَا
Dari 'Aisyah berkata, "Abu Bakar masuk menemui aku
saat itu di sisiku ada dua orang budak tetangga Kaum Anshar yang sedang
bersenandung, yang mengingatkan kepada peristiwa pembantaian kaum Anshar
pada perang Bu'ats." 'Aisyah menlanjutkan kisahnya, "Kedua sahaya
tersebut tidaklah begitu pandai dalam bersenandung. Maka Abu Bakar pun
berkata, "seruling-seruling setan (kalian perdengarkan) di kediaman
Rasulullah SAW?" Peristiwa itu terjadi pada Hari Raya 'Ied. Maka
bersabdalah Rasulullah SAW,"Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum
memiliki hari raya, dan sekarang ini adalah hari raya kita." (HR.
Bukhari)
Hadis ini sahih terdapat di dalam kitab Ash-Shahih karya
Al-Imam Al-Bukhari. Tidak ada satu pun ulama yang menentang
kesahihannya. Sementara kalangan yang mengharamkan nyanyian dan lagu
menyebutkan bahwa kebolehannya bersifat sangat terbatas, yaitu karena
adanya hari raya saja.
Secara fitrah manusia juga menyenangi
suara gemercik air yang turun ke bawah, kicau burung, dan suara binatang
di alam bebas, senandung suara yang merdu, dan suara alam lainnya.
Nyanyian dan musik merupakan bagian dari seni yang menimbulkan
keindahan, terutama bagi pendengaran. Allah SWT menghalalkan bagi
manusia untuk menikmati keindahan alam, mendengar suara-suara yang merdu
dan indah, karena memang itu semua itu diciptakan untuk manusia.
Poin
penting lainnya menyangkut hukum ini adalah, bahwa Allah SWT telah
mengharamkan sesuatu dan semuanya telah disebutkan dalam Alquran maupun
hadis Rasulullah SAW. Allah SWT menghalalkan yang baik dan mengharamkan
yang buruk. Halal dan haram telah jelas. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ
اَلْحَلالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ اَلْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا
مُشْتَبِهَاتٌ لا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ اَلنَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى
اَلشُّبُهَاتِ فَقَدِ اِسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي
اَلشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي اَلْحَرَامِِ
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada yang syubhat,
manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yang menjaga dari syubhat, maka
selamatlah agama dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat,
maka jatuh pada yang haram’ (HR Bukhari dan Muslim).
Sehingga
jelaslah semua urusan bagi umat Islam. Allah SWT tidak membiarkan umat
manusia hidup dalam kebingungan, semuanya telah diatur dalam syariah
Islam yang sangat jelas sebagaimana jelasnya matahari di siang hari.
Oleh karena itu semua manusia harus komitmen pada syariah Islam yang
merupakan pedoman hidup mereka.
Istilah yang biasa dipakai dalam mazhab Hanafi pada masalah nyanyian dan musik sudah masuk dalam ruang lingkup maa ta’ummu bihi balwa
(sesuatu yang menimpa orang banyak). Sehingga pembahasan tentang dua
masalah ini harus tuntas. Dan dalam memutuskan hukum pada dua masalah
tersebut, apakah halal atau haram, harus benar-benar berlandaskan dalil
yang sahih (benar) dan sharih (jelas).
Dan tajarud, yakni hanya tunduk dan mengikuti sumber landasan Islam
saja yaitu Alquran, sunah yang sahih dan Ijma’. Tidak terpengaruh oleh
watak atau kecenderungan perorangan dan adat-istiadat atau budaya suatu
masyarakat. Hal ini sesuai firman Allah SWT.
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu (QS Al-Baqarah 29).
Sehingga untuk memutuskan hukum haram pada masalah muamalah
termasuk nyanyian dan musik harus didukung oleh landasan dalil yang
sahih dan sharih. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah SWT telah
menetapkan kewajiban, janganlah engkau lalaikan, menetapkan hudud,
jangan engkau langgar, mengharamkan sesuatu jangan engkau lakukan. Dan
diam atas sesuatu, sebagai rahmat untukmu dan tidak karena lupa, maka
jangan engkau cari-cari (hukumnya)." (HR Ad-Daruqutni). "‘Halal adalah
sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya. Dan haram adalah sesuatu
yang Allah haramkan dalam kitab-Nya. Sedangkan yang Allah diamkan maka
itu adalah sesuatu yang dimaafkan." (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan
al-Hakim )
Lalu apanya yang diharamkan?
Pada
hukum nyanyian dan musik ada yang disepakati dan ada yang
diperselisihkan. Ulama sepakat mengharamkan nyanyian yang berisi
syair-syair kotor, jorok dan cabul. Sebagaimana perkataan lain, secara
umum yang kotor dan jorok diharamkan dalam Islam.
Ulama juga sepakat membolehkan nyanyian yang baik, menggugah semangat
kerja, dan tidak kotor, jorok dan mengundang syahwat, tidak dinyanyikan
oleh wanita asing, dan tanpa alat musik. Adapun selain itu para ulama
berbeda pendapat, sebagai berikut.
Jumhur ulama menghalalkan mendengar nyanyian, tetapi berubah menjadi haram dalam kondisi berikut:
- Jika disertai kemungkaran, seperti sambil minum khamar, berjudi dan seterusnya.
- Jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita atau sebaliknya.
- Jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan salat atau menunda-nundanya, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan nyanyian dan musik harus memperhatikan faktor-faktor berikut:
1. Lirik lagu yang dilantunkan
Hukum
yang berkaitan dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan
pada setiap ucapan dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik
menurut syara’, maka hukumnya dibolehkan. Dan bila muatannya buruk
menurut syara’, maka dilarang.
2. Alat musik yang digunakan
Sebagaimana
telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam Islam
adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada
larangan yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang
digunakan untuk mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya
dibolehkan. Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur
ulama adalah ad-dhuf (alat musik yang dipukul). Adapun alat
musik yang diharamkan untuk mendengarkannya, para ulama berbeda pendapat
satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah semua alat itu
diharamkan jika melalaikan.
3. Cara penampilan
Harus dijaga
cara penampilannya tetap terjaga dari hal-hal yang dilarang syara’
seperti pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.
4. Akibat yang ditimbulkan
Walau
sesuatu itu mubah, namun bila diduga kuat mengakibatkan hal-hal yang
diharamkan seperti melalaikan salat, munculnya ulah penonton yang tidak
Islami sebagai respon langsung dan sejenisnya, maka sesuatu tersebut
menjadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi’ (menutup
pintu kemaksiatan).
5. Aspek tasyabuh dengan orang kafir
Perangkat
khusus, cara penyajian, dan model khusus yang telah menjadi ciri
kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam,
harus dihindari agar tidak terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu
kaum yang tidak dibenarkan. Rasulullah SAW bersabda:
وَعَنِ
اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ, فَهُوَ مِنْهُمْ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ,
وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
‘Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka’ (HR Abu Dawud)
6. Orang yang menyanyikan
Banyak
ulama yang mengharamkan laki-laki bila menikmati nyanyian dari wanita
yang bukan muhrimnya, yaitu apabila menimbulkan syahwat dan nafsu
birahi. Bila suara wanita itu tidak menimbulkan birahi, fitnah atau
hal-hal yang negatif, maka hukumnya halal. Meski ada juga kalangan ulama
yang lebih berhati-hati, sehingga mereka pukul rata saja, bahwa semua
lagu yang dinyanyikan oleh wanita, hukumnya haram untuk didengarkan oleh
laki-laki. Dan tidak harus apakah suaranya menimbulkan birahi atau
tidak.
Namun para ulama sepakat bahwa pada hakikatnya suara
wanita bukan aurat. Ada begitu banyak dalil tentang suara wanita yang
bukan aurat, di antaranya adalah suara para istri Rasulullah SAW seperti
Aisyah, Ummu Salamah, Maimunah, dan juga para wanita shahabiyah lainnya radhiyallahuanhunna.
Suara mereka didengar oleh begitu banyak laki-laki, yaitu ketika para
wanita itu menyampaikan hadis nabawi yang mereka riwayatkan.
Seandainya
suara wanita merupakan aurat, maka kita tentu haram menerima hadis dari
para istri Rasulullah SAW itu. Tidak ada seorang pun di antara kita
tahu bagaimana tata cara mandi janabah, karena nyaris semua
hadis tentang bagaimana tata cara mandi Rasulullah SAW hanya
diriwayatkan oleh para istri beliau SAW saja. Abu Bakar, Umar, Utsman,
atau Ali tidak pernah meriwayatkan bagaimana cara mandi janabah yang
dilakukan oleh beliau SAW.
Namun ketika yang diperdengarkan
adalah suara wanita yang bernyanyi, para ulama berbeda pendapat.
Sebagian ulama membolehkan suara wanita yang bernyanyi asalkan tidak
menimbulkan syahwat. Dan sebagian lainnya pukul rata mengharamkannya,
karena kebanyakan lagu yang dinyanyikan oleh wanita menimbulkan berahi.
Demikian
kesimpulan tentang hukum nyanyian dan musik dalam Islam semoga
bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi panduan dalam kehidupan
mereka.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Tanya Ustaz merupakan rubrik khusus di Semarak Ramadan. Tanyakan dan/atau konsultasikan hal-hal menyangkut Islam pada halaman Tanya Ustaz untuk dijawab oleh Ahmad Sarwat.
Ahmad
Sarwat adalah pendiri Rumah Fiqih Indonesia yang juga dikenal sebagai
penyusun buku "Seri Fiqih Kehidupan", "Seri Tanya Jawab Syariah", dan
"Ensiklopedia Fiqih Indonesia". Saat ini Ahmad Sarwat juga masih menulis
di website Rumah Fiqih Indonesia dan website pribadinya, www.ustsarwat.com.