Nurcholish Madjid: Pembaharu Islam yang Selalu Gelisah
Dalam lintasan sejarah pemikiran di Indonesia, Nurcholish Madjid merupakan ikon pembaharuan Islam. Gagasannya tentang
pluralisme atau kebinekaan menempatkannya sebagai intelektual muslim
terdepan. Terlebih ketika Indonesia sedang dirongrong fundamentalisme
agama dan ancaman disintegrasi bangsa.
![]() |
Cendekiawan Muslim, Nurcholish
Madjid, saat kampanye untuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Stadion
Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 30 Maret 2004. [TEMPO/ Arie
Basuki; Digital Image; 20040330]
|
Seperti kebanyakan para pembaharu lain, Cak Nur – begitu ia biasa
disapa – adalah pemikir yang selalu gelisah dengan kondisi umatnya. Ia
kerap mendapat kritik lantaran dianggap berlawanan dengan arus utama
pemikiran ketika itu.
Tokoh ini besar di lingkungan keluarga tradisionalis Nahdlatul Ulama,
tetapi berafiliasi pada politik modernis Masyumi. Ayahnya, Kiai Abdul
Madjid, merupakan ulama terpandang di Mojoanyar yang dikenal sebagai
pendukung setia partai yang dirikan Mohammad Natsir itu. Sementara
ibunya, Fatonah, adalah putri Kiai Abdullah Sadjad dari Kediri, seorang
ulama NU berpengaruh. Latar belakang inilah, termasuk yang membentuk
pandangan Cak Nur kemudian.
Saat masih belia, Cak Nur mendapat pendidikan dasar Sekolah Rakyat di
Mojoanyar dan Bareng, juga dari Madrasah Ibtidaiyah. Lalu berlanjut ke
Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang. Tak sampai tamat, Cak Nur pindah
ke Pesantren Modern Darus Salam di Gontor, Ponorogo. Di sana, ia ditempa
berbagai keahlian dasar-dasar agama Islam, termasuk bahasa Arab dan
Inggris.
Setamat dari Gontor, Cak Nur berkuliah studi di jurusan Sastra Arab,
IAIN Jakarta. Di kampus ini, suami Omi Komaria itu membangun citra
dirinya sebagai pemikir muda Islam. Ia juga aktif di organisasi Himpunan
Mahasiswa Islam dan sempat dua periode memimpin organisasi itu antara
1966-1968 dan 1969-1971.
Pada 1968, Cak Nur menulis artikel berjudul "Modernisasi ialah
Rasionalisasi, bukan Westernisasi," sebuah karya yang menjadi
perbincangan utama di kalangan HMI. Melalui tulisan itu, ia mendorong
umat Islam untuk menggeluti modernisasi sebagai apresiasi kepada ilmu
pengetahuan. Setahun kemudian, ia menulis "Nilai Dasar Perjuangan", buku
pedoman anggota HMI yang masih digunakan hingga kini.
Tahun 1970 bisa dibilang menjadi tonggak penting pemikiran Cak Nur.
Tepatnya pada 3 Januari, Ketua Umum PB HMI itu menyampaikan pidato
bertajuk "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi
Umat." Ceramah itu dianggap sebagai penanda proyek pembaharuan yang
diprakarsainya dalam membentuk kelas menengah kota yang lebih religius.
Dalam pidato yang ia sampaikan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta itu,
Cak Nur menguraikan persoalan-persoalan mendesak yang perlu dipecahkan
umat Islam, khususnya menyangkut politik. Lewat jargon 'sekularisasi'
dan "Islam, Yes, Partai Islam, No!" ia mengajak umat untuk meninjau
kembali berbagai bentuk kejumudan yang memasung kreativitas.
Lelaki kelahiran Jombang, 17 Maret 1939 itu mengajak umat untuk
berpikir bebas dan terbuka demi menyongsong kemajuan di masa depan.
Dengan jargon di atas, Peneliti LIPI pada 1984-2005 itu mengatakan,
partai Islam bukan hal esensial, dan sama sekali tidak berhubungan
dengan esensi keislaman.
Pendukung Masyumi yang sebelumnya menyebut Cak Nur sebagai "Natsir
Muda" – karena dianggap mewarisi pemikiran Natsir yang religius-sosialis
– kecewa. Kemudian menganggap sang pembaharu telah mempromosikan paham
Barat.
Meski dikritik, Cak Nur tak berhenti berkarya. Dari 20-an karya yang
ia tulis, "Khazanah Intelektual Islam" (Bulan Bintang, 1982), merupakan
salah satu karya kanoniknya yang merangkum gagasan awal mengenai
pemikiran keislaman. Buku itu berkisah tentang keagungan pemikiran Islam
sejak masa klasik hingga modern, dari abad ke-7-19.
Sepanjang karier pembaharuannya, Rektor Universitas Paramadina
1996-2005 itu membicarakan ide-ide modern seperti demokrasi, hak asasi
manusia, sosialisme, kapitalisme, humanisme, sekularisme, sains modern,
isu gender, dan pluralisme. Jejak pemikiran itu bisa dilihat dalam
"Ensiklopedi Nurcholish Madjid (2007)", yang ditulis oleh muridnya,
Budhy Munawar-Rachman.
Dua warisan penting pemikiran Cak Nur adalah berdirinya Yayasan Wakaf
Paramadina pada 1986 dan Universitas Paramadina Mulya (sekarang
Universitas Paramadina) pada 1996. Dua lembaga ini secara konsisten
mengembangkan ajaran Islam moderat yang digagas Cak Nur.
Di luar kontroversi pemikirannya, Cak Nur adalah sosok yang memiliki
peran signifikan saat era reformasi bergulir pada 1998. Doktor Filsafat
Islam dari Universitas Chicago itu termasuk salah seorang yang dimintai
nasihat oleh Presiden Soeharto ketika diminta lengser dari jabatannya.
Atas saran Cak Nur, akhirnya sang presiden mundur dari jabatannya untuk
menghindari krisis menjadi lebih parah.
Demikian pemikiran Nurcholish Madjid yang terlukis di atas kanvas
peradaban Indonesia. Setelah menderita sirosis hati selama dua tahun,
akhirnya sang pembaru meninggal dunia pada 29 Agustus 2005. Ia
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata karena dianggap telah banyak
berjasa kepada negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar